Sebuah Dialog Senja
Suatu hari. Seolah-olah Senja berbahasa padaku.
Senja:
”Izinkan aku berjalan, berjalan perlahan, perlahan memberi cahaya terang, terang yang menggemakan alam. Sampai saatnya nanti aku tenggelam”.
Aku:
Ingin kusampaikan padamu dalam khidmat, dari relung-relung yang tak layak ditelusuri.
 Melalui kontak batin yang melayang entah kemana.
Senja, aku menyayangimu. Dalam bentuk fana mu.
Dalam warna-warna jingga mu.
Dalam bentukmu yang bahkan tak berbentuk,
Ada doa orang-orang di tiap tiap mu, Senja. 
Doa doa itu mengalir dengan teduh, tiap kau bergulir dan tiap kau berlalu. 
Tiap kau terlihat maupun kau tertutup awan.
 Seperti ada payung yang selalu siap memayungi. Teduh itu mengalir.

Tapi Aku.. Aku hanya bisa berpura-pura fana.
Aku selalu bersamamu dalam bentuk angin yang bertiup.
Tertiup dan bertiup, menerpa dan membawa. Membawa sepi.
Sehingga terbawalah aku disini dan tertoreh hati.
Bersiul..
Bersiul hingga bahagia datang. Bersiul hingga datang bahagia.
Bahagia datang..
Datang bersama-sama menjemput nanti.
Tapi aku tetap tertoreh hati, padamu.
Senja hanya membalas dengan gentar.. 
Terdengar sedikit gemetar dan samar. “Baiklah aku pergi”, katanya.

Sedangkan aku dengan tegas membalas, “ Aku akan tetap disini, Senja”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar