Pernah

Dalam keseharian, setiap kita pasti memiliki sebuah peristiwa yang menempatkan kita pada sebuah posisi yang mendebarkan, penuh tantangan, dan yang paling berharga dirasakan mungkin adalah hadirnya teman atau keluarga untuk melalui saat tersebut bersama, hingga tercipta kenangan­-kenangan akan kebersamaan. Bagi beberapa orang mungkin ini hal yang remeh, setelah sebuah kegiatan berlalu ya berlalulah sudah, tah ada ikatan lagi, tak ada sisa energi kebersamaan yang dapat dirasakan. namun untuk orang seperti saya yang menghargai kenangan (baca:pendendam) tentunya sangat sulit melepaskan saat penuh kebersamaan itu.

Baru­-baru ini, saya mengalami peristiwa kebersamaan yang kental dalam sebuah pentas drama, bahkan rasanya bukan hanya saya, karena beberapa teman melalui media sosial juga mengungkapkankan, hal ini menggelitik saya mengenai nilai sebuah kejadian bagi individu yang mengalaminya. Di lain sisi saya juga pernah memiliki rekan seperjuangan yang ketika hal yang diperjuangkan bersama telah selesai maka usai pula segala rasa dan konektivitas yang pernah ada. bahkan silaturahmi sekedar bertegur sapa di media sosialpun enggan terasa. Beberapa kali saya memulai percakapan terlebih dahulu, namun seiring waktu rasanya bosan juga selalu menjadi yang memulai silaturahmi. Jadi sebaiknya disudahi.

Menurut Decay Theory (Atropi), teori ini beranggapan bahwa memori menjadi semakin aus dengan berlalunya waktu bila tidak pernah diulang kembali (rehearsal). Informasi yang disimpan dalam memori akan meninggalkan jejak­-jejak (memory trace) yang bila dalam jangka waktu lama tidak ditimbulkan kembali dalam alam kesadaran, akan rusak atau menghilang. Berdasarkan teori tersebut, kenangan-­kenangan yang terpatri dalam otak seseorang memiliki masa tenggang, apalagi jika tidak dilakukan pengulangan terhadap ingatan tersebut, namun untuk ingatan-­ingatan yang berkesan rasanya akan lebih sering terulang di otak dan meresap hingga ke hati, saya rasa inilah sebabnya beberapa kenangan sulit terlupa, karena sering terulang dalam ingatan.

Waktu memang menjadi penentu rasa yang tak pernah terungkap dalam sebuah pertemuan, namun seiring berjalannya waktu , kenangan-kenangan akan saat­-saat yang dilalui bersama menjadi berharga. Seolah tak pernah hilang, melekat bagai cairan gula yang kental pada bulu kucing. membahas spektrum yang lebih luas dalam kenangan, rasanya tak pernah lepas dari masa kacil. masa di mana dunia masih terasa baik­- baik saja, angin sepoi­-sepoi, udara segar, dan matahari bersinar cerah setiap pagi. Meskipun mendung kita dapat menikmati penantian akan hujan yang datang untuk menambah keasyikan bermain (saya rindu saat-­saat itu). dan hal menggelikan dari masa kecil adalah saat itu kita sangat ingin menjadi dewasa, bisa nonton porno, pacaran, punya perkerjaan, punya uang hasil keringat sendiri, hak politik patrilineal, dan segalanya seakan lebih megah ketika kita menjadi dewasa. namun ketika telah masuk masa dewasa dan mengalami langsung berbagai hal yang kita cita­citakan sejak kecil, hmmmm... rasanya ingin kembali ke masa kecil lagi.

Saya ingat ketika masih bocah diantarkan ke empang (kolam ikan) untuk buang air besar oleh ibu. Ibu menggamblok saya di belakang punggungnya sambil berjalan menuju empang ia berkata, 'nanak, kapan bisa gantian gamblok emak, gantian ngerawat emak, hehehe". Kata­-kata sederhana namun menohok, terngiang hingga menembus masa 22 tahun setelahnya, mungkin karena belum tercapai. Beberapa kekecewaan terbesar dalam daftar keinginan anak berbakti adalah membahagiakan orang tua, namun setelah saya telisik lagi kebahagiaan orang tua bukan hanya mengenai harta benda saja, namun lebih kepada eksistensi sang anak di sisi orang tuanya yang membuat orang tua merasakan kehangatan keluarga, meskipun saya akui bahwa materi sangat penting sebagai penunjang.

Setelah sekian lama menjalani kehidupan kita, apakah kita hanya mahluk kenangan?, yang hanya terbentuk dari gejolak kenangan masa lalu yang terpendam di alam bawah sadar yang menjadi dasar perilaku kita di masa kini seperti teori Freud? Lantas bagaimana dengan harapan akan masa depan yang lebih baik yang juga dapat menjadi dasar perilaku seseorang? Juga dengan moral yang lebih tinggi seperti kebermanfaatan untuk keluarga, teman, dan lingkungan yang dapat membuat seserang mau berbuat lebih dari sekedar hanya memenuhi kebutuhan dasarnya sendiri? Saya rasa kekinian menjadi jawaban, saat di mana kita berguna untuk saat ini, menjadi sesuatu yang dibutuhkan untuk saat ini, beradaptasi dengan situasi, memproduksi hal­hal yang dibutuhkan untuk bertahan hidup hari demi hari. Tentunya itu semua menjadi bahasan untuk kekinian, tidak selalu mengenai masa lalu bukan? 

Kenangan­-kenangan memenuhi jalan hidup kita, penuh warna katanya. namun diantara sekian banyak kenangan yang tercipta, sekian banyak kejadian dilalui menembus dimensi waktu di mana kita terjebak dalam konsep masa lalu, masa kini, dan masa mendatang. hingga nanti pada akhirnya dari tiada kembali ke tiada, dari saat sebelum sel sperma ayah bertemu dengan sel telur ibu, saat di mana "aku" sebagai individu belumlah terumuskan hingga semua membaur, terpecah, berganti fungsi menjadi penyubur tanah yang melapisi kulit terluar planet bumi dan hingga bumi hancur kemudian komponen yang sebelumnya membentuk kita kembali menjadi debu kosmik dan kembali melayang di luasnya jagat raya. Setidaknya, kita pernah...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar