Motivasi,
sebuah kata yang saat ini dipuja oleh banyak masyarakat. Kata-kata yang
mengandung aftur untuk membakar jiwa-jiwa yang dianggap kurang aktif, kurang
baik, kurang memberikan sumbangsih positif untuk dunia. Di media, berbagai
acara diadakan untuk memberikan motivasi, hingga motivasi merambah ke berbagai
sudut hidup manusia. Dan seolah hidup tak boleh santai, orang-orang yang
memilih untuk hidup lambat-lambat saja dikondisikan seolah sampah bagi
masyarakat dengan tidak menggunakan potensi yang ada di dalam dirinya secara
maksimal. Namun ketika kita bandingkan dengan kenyataan hidup, benarkah hal
yang demikian? Berbicara mengenai motivasi tak dapat terlepas dari peran orang
yang menyampaikannya atau motivator. Karena penulis menganggap motivator ada
yang orang yang paling bertanggungjawab terhadap pengarahan opini publik dari
motivasi yang disampaikan, maka tulisan ini mencoba menilik dari sisi berbeda
terhadap kedigjayaan motivator dalam jagad cendikia.
Motivator kerap
mengarahkan sebuah keadaan yang dikondisikan menjadi sesuatu yang dirasakan
lebih berguna untuk dilakukan, tentunya hal ini tidak terlepas dari bias
pribadi sang motivator. Dapat kita gambarkan sebagai sebuah ide yang dianggap
lebih tinggi daripada ide-ide yang lain (hampir fasis) . Dapat dilihat dalam
pengarahan opini terhadap nilai-nilai kebenaran sang motivator seolah yang lain
perlu diabaikan dan hanya pemikirannya yang harus dihiraukan. Menurut kelakar
dari seorang komika dari Bandung, Soleh Solihun: “motivator berperan penting
dalam penyebaran MLM yang memiliki perhitungan keuntungan yang tidak jelas, MLM
jelas tidak produktif karena hanya bermodalkan rayuan-rayuan terhadap downline
dan anda bisa kaya! Hidup belum lengkap tanpa ketipu MLM”. Skema ponzi game
dapat menjelaskan fenomena ini secara lebih gamblang, semakin sebuah MLM
berkembang dan downline semakin banyak maka produktivitas penerimaan downline
baru sebagai sumber pendapatannya akan berkurang, dan saat itulah sebuah MLM
akan runtuh. Dari sini jelas terlihat bahwa ini hanya permainan uang dan sumber
dana yang dimiliki adalah dari member-member baru.
Peran motivator
bagi berkembangnya bisnis permainan uang ini adalah dalam memberikan motivasi
untuk mengambil member baru, dalam setiap kesempatan seminar diberikan
motivasi-motivasi oleh para motivator handal. Memberikan agitasi sumbang
tentang bagaimana kita menjalani kehidupan yang salah selama ini dengan bekerja
untuk uang bukannya uang yang bekerja untuk kita. Menunjukan kesalahan yang
telah betahun-tahun kita jalani tanpa sadar telah membawa kita pada kerapuhan
finansial. Bagaimanapun, pandangan yang dijadikan dasar motivasi untuk ikut
program yang dicanangkan secara berapi-api tersebut akan berujung pada
keuntungan member yang telah lebih dulu mendaftar, dan untuk yang belakangan
mendaftar harus mencari member baru di bawahnya agar bisa mendapat penghasilan
berkelanjutan. Pada akhirnya kita tetap harus bekerja juga kan, namun kali ini
berbeda, kita menjadi pekerja untuk mereka tanpa status karyawan, tanpa jaminan
kontrak kerja Jamsostek, target tanpa batas, kesehatan, jam kerja, peraturan
kementrian tenaga kerja, dan sederet fasilitas lainnya yang bisa kita dapatkan
dengan metode kerja konvensional. Namun bukan sepenuhnya tanggung jawab
motivator, saya rasa ini juga tanggung jawab kita yang seharusnya memiliki
pandangan hidup dan prinsip yang jelas untuk menjadi titik berangkat kita yang
menjadi dasar, sebuah alasan kemengapaan dari semua yang kita jalani, untuk ini
saya rasa kita harus lebih banyak merenung (baca:berdiskusi dengan diri
sendiri).
Jika ingin
menilik lebih jauh, maka rasanya kita patut membahas masa ketika kita dibuat
dalam rahim ibu. Dalam rahim ibu, kita telah dipantau oleh berbagai pemeriksaan
untuk memastikan bahwa kita terlahir menjadi bayi yang sesuai dengan
prinsip-prinsip bayi sehat yang ditetapkan oleh para ahli. Nutrisi yang menjadi
asupan sang ibu harus dijaga agar bergizi tinggi untuk mendukung perkembangan
sang bayi, dan beberapa bulan kemudian kita lahir, beberapa dari kita dipilih
tanggal unik untuk kelahirannya dengan metode lahir yang dipaksakan. Kemudian
setelah lahir kita diberikan berbagai fasilitas yang diharapkan dapat
merangsang pertumbuhan kita dalam segi motorik halus, lalu kita seolah berlomba
untuk siapa lebih cepat berjalan dan berbicara. Setelah beberapa tahun berlalu
sudah tersedia arena untuk kompetisi baru untuk membaca dan berhitung, kemudian
seleksi masuk taman kanak-kanak. Dan berakhir pada pemilihan lokasi kubur.
Kita dapat
melihat perlombaan besar-besaran umat manusia untuk mencapai prestasi tertinggi
dalam berbagai tahap perkembangan, hal ini tentunya menimbulkan persaingan yang
didalamnya terjadi pergesekan, benturan bahkan hantaman. Pada akhirnya semua
kompetisi ini mengarah pada pemenang dan pecundang, para pemenang menikmati
tahta kemenangan dengan pujian dan sanjungan sementara pecundang merasa
tersisih dan gagal. Berbicara mengenai kompetisi-kompetisi ini rasanya kita
juga harus membawa serta pengarahan hanya terhadap beberapa bakat saya bagi
manusia dan kesemuanya dapat disimpulkan sebagai kemampuan yang bisa
mendatangkan banyak uang bagi kesejahteraan. Saya rasa kapitalisme dapat
disalahkan atas perlombaan yang tidak adil ini mengingat setiap manusia
memiliki perbedaan dalam minat dan bakatnya dalam memahami dunia kemudian
tersisih karena beberapa pekerjaan lebih menghasilkan lebih banyak uang
daripada yang lainnya. Berbagai kemampuan memang dibutuhkan untuk mengerjakan
berbagai tugas kehidupan, bahkan tukang sampah pun punya posisinya yang penting
di lingkungan kita. Menurut teman saya, Tak ingin tersisih dan ingin memiliki
eksistensi adalah kebutuhan mendasar setiap manusia. Jadi rasanya sangat wajar
jika banyak orang tak ingin menjadi pecundang atau miskin harta benda, karena
untuk mencapai tujuan itulah terkadang kita sendiri terseok-seok untuk
mewujudkannya, maka kita membutuhkan motivator untuk membakar semangat kita
mendapatkan apa yang diharapkan masyarakat untuk dimiliki, namun apakah kita
hidup untuk memenuhi harapan orang lain? Bagaimana dengan keinginan diri
sendiri? Di sini saya bukan mencoba egois, hanya saja saya rasa kita harus
memberikan ruang bagi diri sendiri dan publik pada proporsinya masing-masing,
jika tidak akan ada salah satu yang tergagahi, universalis vs pax romana.
Pertanyaan
berikutnya yang mengganjal adalah, apakah salah menjadi pecundang dalam satu
sisi kemampuan sementara banyak kemampuan lain yang kita miliki namun sering
terabaikan?. Jika jalan hidup yang datar dan sunyi, jauh dari keramaian dan
harta benda yang berlimpah adalah salah maka bagaimana mungkin Sidharta gautama
meninggalkan istana yang megah untuk mencari kesejatian dan hidupnya dan
mencapai nirwana dalam kesederhanaan?.
Di sinilah kekesalan penulis terhadap para motivator yang menganggap
jalan hidup yang cukup-cukup saja sebagai sebuah kesia-siaan, sepertinya tak
akan cukup melahap dunia dan seisinya maka kita harus juga menggigit potongan
akhirat. Meskipun saya akui, memiliki keamanan finansial memang terlihat nyaman
dan menjanjikan, namun bagaimana dengan mereka yang telah berjuang dan tetap
mendapatkan hasil yang biasa-biasa saja atau bahkan gagal. Sampai pada titik
ini motivator terlihat seperti seseorang yang ingin menghina akal sehat dengan
menyalahkan faktor manusia namun meminta kita untuk berserah kepada tuhan.
Terkadang yang sering tidak diacuhkan adalah kenyamanan seseorang pada titik
tertentu yang ingin dipertahankannya, bisa jadi karena ia merasa cukup lelah
untuk terus mengejar atau memang tidak menginginkan yang gemerlap dan bertahan
dimana ia berkata “cukup saja sudah baik”.
Dilihat dari
sisi kebutuhan akan motivator, sebenarnya kita semua bisa menjadi motivator
yang baik bagi diri sendiri, namun mungkin pengaruh pendidikan yang lebih
menghargai daya hafal kita dibanding daya analisan dan olah pikir melalui
logika, maka cara kita menyelesaikan masalah pun cenderung mendengarkan dan
menghafal saja panduan dari orang-orang yang dianggal lebih tau, lebih bijak
dan lebih mumpuni dalam hal ekonomi ( merajuk pada anggapan umum saat ini bahwa
orang kaya harta adalah manusia paling unggul di bumi). Anggapan umum yang
diterima sebagai kebenaran ini menjadikan kita menganggap remeh potensi diri
untuk berpikir dan menentukan hidup kita sendiri, jalan yang harus kita tempuh
dan berbagai prinsip yang mendasari sebuah tindakan bagi sebuah tujuan. Maka
secara logika kita telah lumpuh, kegunaan otak untuk berpikir dan hati untuk
merasa dikerdilkan dan digantikan oleh kemampuan mengangguk yang mumpuni, maka
untuk itulah kita membutuhkan motivator lebih daripada sebelumnya, dan fenomena
ini juga terjadi pada segi keimanan yang tidak akan saya bahas pada tulisan
ini. Meskipun sebenarnya hal ini berhubungan erat dengan bagaimana kita
dididik, namun saya rasa kita punya pilihan setelah mengetahui sekelumit fakta
tandingan yang selama ini diabaikan.
Kemampuan
manusia dalam menentukan apa yang ingin dijalani sebenarnya setara-setara saja
dengan kemampuan motivator dalam mengkonsepkan hidup seseorang. Sebagai contoh
adalah masyarakat baduy, mereka hidup tanpa apa yang kita sebut perkembangan,
mereka memilih mempertahankan tradisi layaknya kaum konservatif, tanpa
kekerasan dan membiarkan alam yang mengambil alih proses-proses seputar
kehidupan. Dengan prinsip yang demikian keasrian bertahan, sumber air yang
baik, udara yang bersih, panen yang cukup untuk makan, selebihnya dijual untuk
kebutuhan yang hanya bisa didapat dari luar. Sebuah kehidupan anti progresi
yang arif, meskipun belakangan anak-anak muda disana mulai tertarik dengan
modernisasi, namun terlepas dari pengaruh tersebut tidak dapat dipungkiri bahwa
ini merupakan salah satu opsi cara hidup yang baik. Hal ini tentunya bertolak
belakang dari anggapan umum para motivator bahwa hidup harus berkembang, keluar
dari zona nyaman lebih lebih tepatnya. Namun saya rasa mempertahankan zona
nyaman juga memiliki tantangannya tersendiri.
Nampak jelas
bagi saya bahwa sebenarnya kita tidak membutuhkan motivator untuk membuat kita bisa
memahami jalan hidup yang harus kita tempuh. Secangkir kopi dan kacang rebus
sambil berdiskusi dan berkelakar mengenai gado-gado rasanya memberikan efek
yang lebih memompa semangat kita untuk memaknai hidup lebih dari sekedar harta
benda yang dijanjikan muluk-muluk oleh motivator. Pada akhirnya, bukankah hasil
adalah hak prerogatif sang pencipta? Nikmatilah, dan lakukan dengan cara
kita. Tulisan ini mengingatkan saya akan salah satu lirik lagu Frank Sinatra;
My Way, “i did it my way”. Mengesalkan, melalui tulisan ini ternyata di akhir
saya sadari bahwa secara naif saya telah menjadi motivator.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar